Rabu, 02 Maret 2011

globalisasi budaya

Argumentasi yang dipakai adalah bahwa derap langkah perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan internasional kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan negara bangsa.Dengan demikian, akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi yang begitu canggih sehingga mendorong dinamika sosial lainnya. Hal ini menurut saya penting untuk diekplorasi lebih lanjut. Sebab kecenderungan latah berbicara globalisasi selama ini, baik itu sebagai realita atau sekadar “pembayangan” — baik itu yang menolak ataupun yang setuju — lebih cenderung menempatkan globaliasai sebagai persoalan budaya semata.Sebab kecenderungan latah berbicara globalisasi selama ini, baik itu sebagai realita atau sekadar “pembayangan” — baik itu yang menolak ataupun yang setuju — lebih cenderung menempatkan globaliasai sebagai persoalan budaya semata. Oleh karena itu, ada baiknya jika sejenak kita melihat fenomena itu dalam bingkai yang mungkin kurang disukai, yakni dari sudut ekonomi-politik. Dengan demikian, menjadi tepat kiranya jika kemudian kita membicarakan kapitalisme — yang notabene sebagai cikal-bakal lahirnya globalisasi — sebagai objek yang pokok. Ada dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, kapitalisme itu sendiri berdiri bukan saja sebagai konsepsi idealitas manusia, melainkan sebagai realitas yang konkret yang hadir, dihadapi, dan dialami oleh manusia modern. Di sini kemudian mundur apa yang kita kenal dengan teori trias economica dan konteks ini kita tarik dalam bingkai filosofis, kemudian manusia masuk dalam kategori makhluk homo economicus (manusia ekonomi). Dalam hubungan paling penting ini cara bertransaksi ekonomi (jual beli) bukan salah satu dari berbagai hubungan manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari tindakan dan relasi manusia, baik itu dalam hal hubungan keluarga, tata negara atau bahkan hubungan internasional. Oleh sebab inilah para ekonom dan juga Hery Priyono percaya pada simpulan, “Apakah itu masyarakat sedang mengalami kemacetan atau perkembangan dan sekaligus penentuan strategis bagi perubahan, haruslah diletakkan atas dasar konsep ekonomi dan tak boleh keluar dari solusi sistem pasar bebas itu sendiri.” Dengan kekuatan asumsi ini tidak heran jika kemudian muncul etika ekonomi yang berdiri di luar hukum etika lain. Artinya memercayai bahwa individu yang bertindak bebas dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi akan berefek baik bagi peningkatan kesejahteraan publik dibanding dengan pasar yang dikendalikan/dimonopoli oleh negara. Saking kuatnya pengaruh teori ini, kemudian yang terjadi adalah penyingkiran penilaian etika lain semisal agama, sosial, negara, dengan etika economicus neo-liberal. Etika seperti ini, memanifestasikan diri sebagai satu-satunya hakim dalam menilai setiap kebijakan. Sedikit saya tambahkan, bahwa dasar filosofis liberalisme ini sebagai jalan pasar kapitalisme. Hal ini bisa kita lihat dari pengandaian Smith yang menekankan kebebasan aktivitas manusia dalam perekonomian dengan motif dasar yang sama. Apa yang dimaksud Budiman ini bisa kita buktikan dalam berbagai kasus pemotongan subsidi, bahan bakar minyak, kesehatan, pendidikan, dsb., serta terbengkalainya agenda-agenda yang menyentuh hajat orang banyak, semakin menunjukkan bahwa perubahan yang diarahkan oleh kapitalisme global berakibat pada munculnya watak asosiasi negara di satu pihak dan watak komersial di pihak lain. Budaya pasar Melihat fenomena determinasi ekonomi-liberal di atas, satu yang teramat penting diperhatikan adalah bahwa hampir tak ada benteng pertahanan lagi bagi keaslian tata-budaya lama. Transformasi teknologi informasi yang didukung oleh geliat komodifikasi dalam setiap bidang telah mengantarkan pasar menjadi dunia baru yang menegaskan dunia “tradisional” yang selama ini kita diami. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh semisal model restoran siap saji Amerika masuk dalam golongan junk-food yang dikonsumsi oleh kelas pekerja atau pelajar, di Indonesia hadir sebagai tempat yang elit dan eksklusif. Dengan pengikisan budaya lokal oleh desakan global ini kemudian nilai kebudayaan yang sering diasumsi sebagai tatanilai sosial asli (tradisional) sering dianggap ancaman serius. Mungkin dengan perspektif lain, persoalan “pergantian” sebuah kebudayaan bukanlah hal yang serius kita perhatikan, sebab bagi sebuah kebudyaan asli Indonesia misalnya, bukanlah hal yang final dan kita sakralkan. Tapi jika kita kembali dalam pengertian globalisasi sebagai bagian integral arus (kepentingan) ekonomi-politik pemodal, maka persoalan seperti ini akan menjadi suatu hal yang serius, sebab sebuah kebudayaan tidak lagi dibangun melalui tata nilai sosial-kemanusiaan, melainkan justru dibangun dari proses komersialisasi dengan cara-cara meng-komodifikasikan segala hal.

GLOBALISASI EKONOMI

Globalisasi ekonomi adalah kehidupan ekonomi global yang bersifat terbuka dan tidak mengenal batas-batas teritorial, atau kewilayahan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Di sini dunia dianggap sebagai satu kesatuan yang semua daerah dapat terjangkau dengan cepat dan mudah. Sis9i perdagangan dan investasi menuju ke arah liberalisasi kapitalisme sehingga semua orang bebas untuk berusaha di mana saja dan kapan saja di dunia ini.

Globalisasi dapat terjadi dengan berkembangnya teknologi informasi dengan pesat, majunya iptek modern, dan kerjasama internasional yang semakin terbuka dan intensif. Oleh karena itu, globalisasi sekarang sudah menjalar ke seluruh dunia. Terdapat dampak positif dan negatif dari globalisasi. Dampak positifnya antara lain dengan adanya globalisasi, mendorong para pengusaha untuk memproduksi barang dengan mutu yang baik. Para pengusaha harus berusaha meningkatkan efisiensi dan menghilangkan biaya tinggi. Selain itu, dengan adanya globalisasi juga akan meningkatkan lapangan pekerjaan dengan ditingkatkannya hasil produksi. Lalu dengan berjalannya ekspor-impor, dapat meningkatkan devisa bagi negara. Di samping dampat positif, globalisasi memiliki dampak negatif. Di antaranya adalah meningkatnya kesenjangan antara si kaya yaitu yang dapat bersaing, dan si miskin yaitu yang kalah dalam bersaing. Kemudian juga membanjirnya barang impor dari luar negeri ke pasar domestik yang dapat mematikan usaha pengusaha kecil.

Bagi indonesia yang juga merupakan salah satu warga dunia, pengaruh globalisasi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu siap tidak siap, Indonesia harus segera mempersiapkan diri menghadapi era globalisasi yang akan segera datang bagi Indonesia. Globalisasi bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia akan diterapkan pada tahun 2020, dan bagi negara maju sudah akan diterapkan pada tahun 2010. Sehingga kurang dari 15 tahun lagi Indonesia akan menghadapi globalisasi.

Indonesia sekarang ini masih menerapkan kebijakan proteksi ekonomi, untuk melindungi komoditas domestik agar dapat bersaing dengan barang-barang impor. Para produsen di indonesia masih merupakan produsen yang kecil-kecil sehingga output produksi dan efisiensi masih rendah. Hal ini terbukti dengan didominasinya perekonomian nasional oleh sektor Usaha Kecil Menengah atau UKM. Para pengusaha kecil tersebut adalah para pengusaha yang hanya memiliki modal kecil sehingga tidak akan sanggup bertahan lama jika harus bersaing dengan para pengusaha besar nasional atau luar negeri. Selain itu daya beli masyarakat juga masih rendah, sehingga masyarakat tidak akan mampu jika harus membeli barang-barang yang tidak disubsidi oleh pemerintah.

Untuk menjawab tantangan itu, pemerintah dan seluruh warga harus berbenah dari sekarang. Pemerintah sebaiknya sedikit-demi-sedikit menghapus kebijakan proteksi ekonomi, sehingga para pengusaha Indonesia tidak kaget nantinya jika era globalisasi itu telah datang. Kemudian pemerintah juga harus memberikan kredit baik itu bagi pengusaha besar dan terutama bagi pengusaha kecil. Hal ini dimaksudkan untuk membuat besar usaha para pengusaha kecil dan memperkuat persaingan mereka dengan pengusaha besar lainnya. Hal ini secara otomatis akan memperkuat daya persaingan dengan cara para pengusaha akan meningkatkan mutu barang dan efisiensi dalam produksi. Kemudian pemerintah juga harus menciptakan stabilitas keamanan agar iklim berusaha menjadi kondusif sehingga dalam berusaha baik itu pengusaha domestik atau asing dapat tenang. Lalu proses alih teknologi juga harus cepat dilaksanakan agar Indonesia dapat memperoduksi barang-barang yang sebelumnya tidak memiliki teknologi tersebut sehingga mengurangi datangnya barang impor yang kemudian dapat menghemat devisa. Jika semua langkah tersebut dilakukan, semoga saja Indonesia dapat menghadapi globalisasi ekonomi yang akan segera tiba di negeri ini.

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

Dalam pembagian cabang-cabang ilmu pengetahuan, etika adalah anak cabang dari filsafat. Masuk dalam kategori filsafat praktis. Pembahasannya langsung mengarah pada tindakan dan bagaimana manusia harus berbuat. Filsafat praktis ini diupayakan untuk memberi pemahaman pada manusia dalam mengarahkan tindakannya. Begitulah etika sebagai bagian dari filsafat praktis bekerja. Kemudian pun etika masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Mengingat manusia memang memiliki kedua dimensi itu. Sebagai individu dan makhluk sosial. Sebagai individu manusia memiliki kewajiban-kewajiban terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhan, dan wilayah-wilayah hidup mereka yang berkenaan dengan sisi individual. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia diarahkan untuk mengatur hidup sesuai dengan garis kodrat mereka sebagai makhluk sosial, berkenaan dengan nilai-nilai moral yang menentukan sikap dan tindakan antarmanusia.
Sedangkan dimensi politik dalam etika politik di sini adalah dimaksudkan ada dalam pengertiannya yang lebih luas. Bukan hanya berkenaan dengan sistem kenegaraan atau hubungan antar negara misal, yang mencangkup kehidupan kenegaraan, pemerintahan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut kepentingan publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan dan negara yang dibatasi oleh konsep-konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decission making), pembagian (distribution), dan alokasi (alocation), tetapi di sini pengertian itu diperluas lagi ke dalam tataran manusia sebagai makhluk yang berpolitik. Secara kasar dapat disebutkan bahwa segala tindakan manusia atau bahkan manusia itu sendiri tidak akan lepas dari orientasi dan moda-moda politik. Manusia hidup karena berpolitik. Secara kodrati sebagai makhluk individual atau sosial manusia akan memerlukan aturan-aturan atau norma-norma untuk dapat menjalani hidupnya. Kata kunci dari dimensi politik ini adalah kaitannya dengan hak dan kewajiban manusia. Sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagi anggota masyarakat, sebagai individu, dan sebagai makhluk Tuhan.
Dengan melihat dua dimensi ini, etika dan politik, dalam Pancasila sebagai Etika Politik, maka kita dapat memberi kesimpulan awal bahwa Pancasila adalah pedoman hidup bersama kita, yang mengatur bagaimana kita bersikap dan bertindak antar satu dengan lain, yang disertai hak dan kewajibannya. Dengan kata lain Pancasila adalah moral identity kita. Baik sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat. Kita dikenali karena kita memiliki Pancasila dalam diri kita sebagai pedoman hidup bersama.
A. Melihat Ulang Kesejarahan Pancasila
Awal bulan ketiga tahun 1945, adalah tonggak baru sejarah bangsa Indonesia dalam upaya menjadi diri sebagai bangsa yang merdeka. Pada masa itu, secara resmi diumumkanlah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritzu Zyundai Tjosakai oleh Panglima Tentara XVI Letjen Kumaici Harada. Badan ini memiliki tugas untuk menyelidiki dan merumuskan dasar dan rancangan undang-undang dasar Indonesia.
Pancasila lahir dari sidang BPUPKI yang pertama, yang diselenggarakan tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam tiga hari inilah, para founding father kita “bersitegang” mempersoalkan dasar atau falsafah negara yang akan digunakan. Di antara beberapa orang yang mengusulkan draft dasar negara adalah Prof. Mohammad Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Tiga orang ini dalam tiga hari berurutan berargumen di hadapan anggota sidang.
Tanggal 29 Mei, Prof. Moh. Yamin, terlebih dahulu membacakan dan menyerahkan usulannya. Versi lisan yang diusulkan beliau adalah; peri kebangsaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan versi tulisannya; ketuhanan yang Maha Esa, kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hidmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang hari berikutnya, Dr. Soepomo menyampaikan usulannya. Yang meliputi; negara yang kita bentuk harus berdasarkan aliran pikiran kenegaraan kesatuan yang bersifat integralistis atau negara nasional yang bersifat totaliter, setiap warga dianjurkan untuk hidup berketuhanan tetapi urusan agama terpisah dari urusan negara, dibentuk Badan Musyawarah agar pemimpin negara bersatu jiwa dengan wakil rakyat, sistem ekonomi diatur berdasarkan azas kekeluargaan, tolong menolong dan sistem kooperasi, negara Indonesia yang besar atas semangat kebudayaan Indonesia asli. Kemudian juga mengusulkan dasar negara yang meliputi; persatuan, kewargaan, kesinambungan lahir batin, musyawarah dan keadilan sosial.
Hari berikutnya, Ir. Soekarno menyampaikan pidato filsafat dasar negaranya dengan rumusan; kebangsaan Indonesia-nasionalisme, perikemanusiaan-Internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Kita tidak hendak melihat pergumulan ide antara ketiga orang ini atau alotnya sidang perumusan dasar negara ini. Konsep siapa yang digunakan dan siapa yang menang. Karena kita langsung dapat menganalisanya sendiri dengan membandingkan tiga usulan di atas dengan Pancasila yang ada sampai sekarang ini.
Dan kemudian pada tanggal 22 Juni, usulan-usulan ini disintesiskan oleh Panitia 9 yang dibentuk oleh BPUPKI, dan menghasilkan sebuah dokumen dengan nama Piagam Jakarta. Yang isinya adalah rumusan Pancasila berikut ini;
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
Setelah Indonesia diprokamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, timbul polemik yang sangat tajam antara para elit tokoh Indonesia terkait dengan tujuh kata pada sila pertama. Penduduk Indonesia yang mayoritas umat Islam tentu merasa senang hati dengan adanya tujuh kata ini. Namun, karena kesadaran bahwa Indonesia merdeka dan terbentuk bukan hanya karena umat Islam, dan demi menangkal perpecahan pada negeri yang baru lahir, atas usul Bung Hatta, tujuh kata itu dihapus, menjadi Ketuhanan yang Maha Esa.
A. Mencermati Lima Sila
Abdul Hadi W.M. dalam makalahnya menyatakan bahwa Pancasila adalah landasan ideologis berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang dijadikan pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia. Dan seperti apa yang dikatakan Abdul Hadi W.M. sila ini menjadi pengayom bagi sila yang lain dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan, dan dan semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab. Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini adalah satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama lain. Dari perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri dari fragmen-fragmen yang membentuknya.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan dan suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di dasari oleh tiga sila sebelumnya.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan: (1) Keadilan distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2) Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik.
A. Penutup, Titik Awal Menghidupkan Kembali Pancasila Sebagai Etika Politik Bangsa
Dari pencermatan pada lima sila ini, kembali pada pertanyaan di atas bahwa apakah Pancasila hadir sebagai jiwa dahulu ataukah badannya terlebih dahulu? Jika Pancasila hadir dalam diri bangsa ini sebelum badan Pancasila itu dirumuskan, berarti bangsa Indonesia secara khas memang memiliki nilai-nilai atau pedoman yang berkesuaian dengan Pancasila setelah dirumuskan. Tetapi jika badannya terlebih dahulu yang hadir, kemudian bangsa ini menghayati nilai-nilainya, berarti ada kesepakat berikutnya tentang nilai-nilai baru yang terbentuk yang harus dipatuhi dan jadikan pedoman besama. Pertanyaan ini muncul karena terkait dengan fenomena sekarang ini, fenomena akan ketidakpercayaan bangsa Indonesia pada Pancasila. Atau pe-marginal-an Pancasila dari kehidupan bangsa ini.
Sebenarnya tidaklah begitu penting apakah Pancasila hadir menjiwai terlebih dahulu sebelum badannya dirumuskan, atau sebaliknya. Hanya saja ada implikasi yang dapat digunakan untuk menganalisa masalah delegitimasi Pancasila akhir-akhir ini dengan melihat itu mana yang hadir terlebih dahulu. Ketika melihat Pancasila sebagai jiwa yang hadir terlebih dahulu, dengan melihat kondisi saat ini, berarti bukan Pancasilanya yang bermasalah. Bahwa Pancasila tidak lagi relevan adalah omong kosong belaka. Pancasila adalah tetap Pancasila yang tetap terbuka bagi semua golongan dan nilai-nilainya akan terus termutakhirkan sesuai dengan perkembangan zaman, seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid, “Pancasila adalah sebuah ideologi, maka itu berarti terbuka lebar adanya kesempatan untuk semua kelom¬pok sosial guna me¬ngambil bagian secara positif dalam pengisian dan pelaksanaannya. Maka para pemu¬ka Islam pun harus tanggap kepada masalah ini.” Jadi manusia-manusianya yang kepribadiannya tergerus.
Dan jika kemudian, jika yang hadir terlebih dahulu adalah badannya, maka kita memang perlu melihat kembali sila-sila Pancasila. Sudahkan hal itu sesuai dengan watak dan pribadi bangsa ini. Atau paling tidak sudah cukup dapat menampung watak dan kepribadian itu.
Terakhir, yang bermasalah apakah Pancasila ataukah manusia-manusianya, masih menjadi pekerjaan rumah, yang bukan hanya diteliti dalam tataran teoritis atau sekedar wacana saja. Namun, juga dalam tataran praktisnya. Atau bahkan kita melepaskan itu semua, didasari ketakberdayaan kita dalam menghadapi gerusan arus globalisasi, dengan nilai-nilai positif dan negatifnya.
Bahan Bacaan dan Rujukan
Rahman, Budhi Munawar, Ensiklopedia Cak Nur, Jakarta; Paramadina, 2007

Implementasi Pancasila dan Kesadaran Bangsa

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa dalam membuktikan jati dirinya sebagai bangsa merdeka. Berbagai bentuk perlawanan telah digulirkan, baik secara fisik, gerakan organisasi hingga membentuk sebuah landasan idiologi negara, Pancasila. Di tengah kontroversi apakah Pancasila merupakan sebuah idiologi atau sebagai bagian dari ilmu (falsafah ilmu); Pancasila menjadi acuan yang mendasar bagi keberadaan bangsa Indonesia.Bahkan sebagian umat Islam mempercayai bahwa Pancasila merupakan objektivikasi nilai-nilai Islam.
Namun, apakah Pancasila dapat dijadikan pedoman untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di mata dunia atau malah membawa rakyat makin menjauhi cita-cita luhur bangsa ketika masih bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan dan seterusnya.Bagi Bung Karno, Pancasila tak sekadar rumusan filsafat hasil kecerdasan si pencetus, tapi lebih dari itu merupakan weltschuung bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil penggalian yang mendasar dari tradisi dan karakteristik sebuah bangsa.
Karena itu, Bung Karno yakin, Pancasila merupakan philosofische groundslag yang tepat bagi negara RI dan mampu menjadi guiding principles bagi rakyat Indonesia dalam meraih cita-citanya. Namun dalam perjalanan waktu, terutama pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila dilipat-lipat sedemikian rupa demi kepentingan diri dan kelangsungan kekuasaannya. Kontradiksi antara ideologisasi Pancasila oleh Bung Karno dan implementasi Pancasila oleh rezim Soeharto sebagaimana tergambar dari gugatan mazhab Frankfurt yang didalangi Adorno dan Habermas, yang mengungkapkan suatu bangsa pasti melalui tahap rasional kritis ketika membangun ideologinya.
Kondisi Bangsa Indonesia saat ini ialah lemahnya nasionalisme; lemahnya SDM (sumber daya manusia); lunturnya disiplin; Pancasila teralineasi atau terasingkan; demokrasi cenderung menjadi tujuan; ambiguitas atau kedwiartian dalam pengaturan ekonomi yang menyimpang dari kepentingan nasional, moral dan budaya bangsa yang sedang sakit; postur kekuatan hankam yang memprihatinkan; hujatan terhadap TNI sebagai bagian dari Orde Baru, dll.
Sebuah kenyataan yang memilukan ketika terdapat pemboman dan gerakan separatis di negeri ini. Pancasila sebagai falsafah negara ternyata tidak mampu menjadi sebuah jawaban dari penyelesaian permasalahan yang dibutuhkan. Pancasila tidak lagi berada di dada burung garuda yang gagah, melainkan burung merpati yang lemah.
Pancasila Teralienasi dalam Tubuh Negara dan Bangsa
Pancasila saat ini berada dalam posisi pembahasan yang cukup tidak diminati, baik oleh media maupun siswa SD hingga perguruan tinggi. Berbeda halnya ketika zaman orde baru masih berkuasa. Bagaimana masyarakat betul-betul merasakan apa arti Pancasila –tidak lagi falsafah- melainkan sebagai idiologi negera. Bahkan organisasi hingga partai politik diharuskan mendasarkan Pancasila sebagai dasar institusinya.
Pancasila kini menjadi bagian “sejarah pelengkap” hadirnya bangsa Indonesia, tidak lebih. Masyarakat dan negara tidak leagi mencoba untuk mengangkat Pancasila sebagai sebuah landasan negara dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Mereka disibukkan pada permasalahan kontemporer dan mencoba mencari jawaban atas permasalahan namun tidak mencari dasar permasalahan.
Sangat disayangkan bila Pancasila yang menjadi akar berdirinya bangsa Indonesia hanya menjadi penghias dalam buku dan legal formal dalam kurikulum pendidikan. Benar kiranya bahwa sejarah selalu diukir dan ditafsirkan oleh pemenang. Sejarah bukan milik mereka yang kalah. Dan sejak era reformasi, Pancasila menjadi bagian dari sejarah mereka yang kalah. Berbicara Pancasila seakan berbicara tirani orde baru yang menghantarkan bangsa ini pada keterpurukan yang berkepanjangan. Seluruh persoalan bangsa ini sekan diawali oleh Pancasila yang diimplementasikan dan ditanamkan melalui P4 serta kurikulum pendidikan ala orde baru. Berbicara Pancasila menjadi semakin tabu di era pasca reformasi.
Karena itu, bangsa Indonesia harus berani melakukan reideologisasi terhadap Pancasila. Artinya, kalau rezim Orde Baru telah mendegradasi nilai-nilai fundamental Pancasila melalui “idealisasi” sekaligus memperlakukannya sebagai “agama politik”, kiranya saat ini Pancasila harus diposisikan kembali pada fungsinya sebagai ideologi perekat bangsa. Menjadi sebuah ideologi modus vivendi bagi keberagaman “primordialisme” masyarakat dan kemajemukan sistem pemikiran anak bangsa.
Kedua, jika era ini diabstraksikan sebagai era ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti secara substantif dan ekspansif iptek mampu mengubah gaya hidup manusia, maka sejalan dengan perkembangan masyarakat ia akan mengalami proses transformasi budaya dari tradisional ke modern. Dari mitos ke logos, dari nasional ke trannasional, lalu ke global mondial. Pada titik tertentu, manusia Indonesia dapat terombang-ambing, bahkan kehilangan jati diri, jika tidak memiliki pedoman hidup bernegara.
Sehubungan dengan itu, dibutuhkan Pancasila sebagai ideologi yang telah mengaktualisasikan diri dengan cara mengintegrasikan norma-norma dasar, teori ilmiah, dan fakta objektif (Kuntowibisono, 1993), sehingga memungkinkan berlangsung proses interpretasi dan reintepretasi secara kritis dan jujur. Tingkat akhir akan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang dinamis, akomodatif, dan antisipatif terhadap kecenderungan zaman.
Ketiga, gelombang keoptimisan proses transformasi masyaraka tradisional ke masyarakat modern, ternyata masih menyisakan “bom-bom” keresahan yang sewaktu-waktu meledak dan mematikan. Memang, fenomena modernitas menjanjikan kemudahan-kemudahan hidup, rasio terninabobokkan, lalu perburuan atas materi dan hedonisme diperbolehkan.
Pertahanan dan Keamanan Negara
Tidaklah mudah membangun wawasan berbasis Pancasila tentang sistem pertahanan keamanan negara di Indonesia saat ini, karena berbagai faktor baik internal maupun eksternal yang berlaku dan mempengaruhi bangun pertahanan keamanan negara. Hal itu bisa dicermati pertama, dari sisi konseptual, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, di mana faktor-faktor itupun tidak dapat dipastikan secara tepat. Kedua, dari sisi legal konstitusional, apakah segenap payung peraturan perundang-undangan kita telah lengkap atau cukup untuk memberi payung kewenangan hukum, dimengerti dan memberi keterkaitan yang jelas antar pelaksana fungsi untuk memberikan akuntabilitas bagi implementasinya ? Sisi yang ketiga adalah kondisi faktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di tengah krisis nasional dan era reformasi, yang membuat kita perlu mengadakan evaluasi terhadap konsep pertahanan keamanan negara.
Namun dari mana pun wawasan itu kita bangun dan kita formulasikan, tidak bisa tidak, titik tolak pandangan tetaplah harus bertumpu bahwa fungsi pertahanan keamanan negara adalah salah satu fungsi pemerintahan. Segenap upaya pertahanan keamanan negara beserta segenap upaya fungsi pemerintahan lainnya pada akhirnya diselenggarakan untuk mengabdi kepada kepentingan nasional.
Dari sini dapat kita lihat bahwa Pancasila perlu diperkuat dengan instrumen-instrumen aturan perundangan yang memperjelas fungsi dan tugas aparat serta memuat kaidah-kaidah hukum. Agar pola dan strategi pertahanan dan keamanan tetap berada pada koridor kesatuan Republik Indonesia. Selain itu penting pula untuk mengadakan instrumen aparat berupa kepolisian dan ABRI sebegai penggerak pertahanan dan keamanan.
Instrumen perundangan dan instrumen aparat harus mengacu pada landasan ideologi Pancasila. Bagaimana instrumen perundangan dan instrumen aparat mengamalkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab; dalam menjalankan tugas. Tidak melakukan tindakan-tindakan serta menjaga dari tindakan-tindakan bodoh yang dapat mengancam stabilitas sosial-hankam masyarakat.Serta bagaimana Pancasila mampu menjamin Hak Asasi Kemanusiaan berkaitan meskipun seseorang telah melakukan kesalahan. Menjadikannya sebuah landasan yang mampu menyentuh seluruh lini kehidupan dan sumber acuan terhadap seluruh kebijakan Negera Kesatuan Republik Indonesia.

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

Pancasila memiliki dua hal yang harus dimiliki oleh ideologi yang terbuka yaitu cita – cita yang ( nilai ) bersumber dari kehidupan budaya masyarakat itu sendiri. Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri bukan bangsa lain. Pancasila merupakan wadah / sarana yang dapat mempersatukan bangsa itu sendiri karena memiliki falsafah dan kepribadian yang mengandung nilai – nilai luhur dan hukum. Pancasila juga memiliki cita – cita moral dan merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila juga memiliki fleksibel dan kelenturan kepekaan kepada perkembangan jaman. Sehingga nilai – nilai Pancasila tidak akan berubah dari zaman ke zaman. Dan Pancasila harus memiliki kesinambungan atau saling interaksi dengan masyarakat nya. Maka, apa yang menjadi tujuan negara dapat tercapai tanpa ada nya pertentangan. Semua orang tanpa terkecuali harus mengerti dan paham betul tentang tujuan yang ada dalam Pancasila tersebut. Dengan demikian secara ideal konseptual, Pancasila adalah ideologi, kuat, tangguh, bermutu tinggi dan tentunya menjadi acuan untuk semangat bangsa Indonesia.
2. Bukti Pancasila adalah ideologi terbuka :
-Pancasila memiliki pandangan hidup dan tujuan serta cita – cita masyarakat Indonesia
-Tekad untuk mengembangkan kekreatifitasan dan dinamis untuk mencapai tujuan nasional
-Pengalaman sejarah bangsa Indonesia
-Terjadi atas dasar keinginan bangsa ( masyarakat ) Indonesia sendiri tanpa campur tangan atau paksaan dari sekelompok orang
- Isinya tidak operasional
- Menginspirasikan kepada masyarakat agar bertanggung jawab sesuai dengan nilai – nilai Pancasila
- Menghargai pluralitas, sehingga dapat diterima oleh semua masyarakat yang memiliki latar belakang dan budaya yang berbeda.
FAKTOR PENDORONG KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA
Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut :
a.Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat.
b.Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku dikarenakan cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
c.Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
d.Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai keadaan dan nilai praktis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma – norma dasar Pancasila yang terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh berubah atau diubah. Karena itu adalah pilihan dan hasil konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental (Staatsfundamentealnorm). Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
Kebenaran pola pikir seperti yang terurai di atas adalah sesuai dengan ideologi yang memiliki tiga dimensi penting yaitu Dimensi Realitas, Dimensi Idealisme dan Dimensi Fleksibilitas.

Senin, 28 Februari 2011

Implementasi Pancasila dan Kesadaran Bangsa

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa dalam membuktikan jati dirinya sebagai bangsa merdeka. Berbagai bentuk perlawanan telah digulirkan, baik secara fisik, gerakan organisasi hingga membentuk sebuah landasan idiologi negara, Pancasila. Di tengah kontroversi apakah Pancasila merupakan sebuah idiologi atau sebagai bagian dari ilmu (falsafah ilmu); Pancasila menjadi acuan yang mendasar bagi keberadaan bangsa Indonesia.Bahkan sebagian umat Islam mempercayai bahwa Pancasila merupakan objektivikasi nilai-nilai Islam.
Namun, apakah Pancasila dapat dijadikan pedoman untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di mata dunia atau malah membawa rakyat makin menjauhi cita-cita luhur bangsa ketika masih bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan dan seterusnya.Bagi Bung Karno, Pancasila tak sekadar rumusan filsafat hasil kecerdasan si pencetus, tapi lebih dari itu merupakan weltschuung bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil penggalian yang mendasar dari tradisi dan karakteristik sebuah bangsa.
Karena itu, Bung Karno yakin, Pancasila merupakan philosofische groundslag yang tepat bagi negara RI dan mampu menjadi guiding principles bagi rakyat Indonesia dalam meraih cita-citanya. Namun dalam perjalanan waktu, terutama pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila dilipat-lipat sedemikian rupa demi kepentingan diri dan kelangsungan kekuasaannya. Kontradiksi antara ideologisasi Pancasila oleh Bung Karno dan implementasi Pancasila oleh rezim Soeharto sebagaimana tergambar dari gugatan mazhab Frankfurt yang didalangi Adorno dan Habermas, yang mengungkapkan suatu bangsa pasti melalui tahap rasional kritis ketika membangun ideologinya.
Kondisi Bangsa Indonesia saat ini ialah lemahnya nasionalisme; lemahnya SDM (sumber daya manusia); lunturnya disiplin; Pancasila teralineasi atau terasingkan; demokrasi cenderung menjadi tujuan; ambiguitas atau kedwiartian dalam pengaturan ekonomi yang menyimpang dari kepentingan nasional, moral dan budaya bangsa yang sedang sakit; postur kekuatan hankam yang memprihatinkan; hujatan terhadap TNI sebagai bagian dari Orde Baru, dll.
Sebuah kenyataan yang memilukan ketika terdapat pemboman dan gerakan separatis di negeri ini. Pancasila sebagai falsafah negara ternyata tidak mampu menjadi sebuah jawaban dari penyelesaian permasalahan yang dibutuhkan. Pancasila tidak lagi berada di dada burung garuda yang gagah, melainkan burung merpati yang lemah.
Pancasila Teralienasi dalam Tubuh Negara dan Bangsa
Pancasila saat ini berada dalam posisi pembahasan yang cukup tidak diminati, baik oleh media maupun siswa SD hingga perguruan tinggi. Berbeda halnya ketika zaman orde baru masih berkuasa. Bagaimana masyarakat betul-betul merasakan apa arti Pancasila –tidak lagi falsafah- melainkan sebagai idiologi negera. Bahkan organisasi hingga partai politik diharuskan mendasarkan Pancasila sebagai dasar institusinya.
Pancasila kini menjadi bagian “sejarah pelengkap” hadirnya bangsa Indonesia, tidak lebih. Masyarakat dan negara tidak leagi mencoba untuk mengangkat Pancasila sebagai sebuah landasan negara dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Mereka disibukkan pada permasalahan kontemporer dan mencoba mencari jawaban atas permasalahan namun tidak mencari dasar permasalahan.
Sangat disayangkan bila Pancasila yang menjadi akar berdirinya bangsa Indonesia hanya menjadi penghias dalam buku dan legal formal dalam kurikulum pendidikan. Benar kiranya bahwa sejarah selalu diukir dan ditafsirkan oleh pemenang. Sejarah bukan milik mereka yang kalah. Dan sejak era reformasi, Pancasila menjadi bagian dari sejarah mereka yang kalah. Berbicara Pancasila seakan berbicara tirani orde baru yang menghantarkan bangsa ini pada keterpurukan yang berkepanjangan. Seluruh persoalan bangsa ini sekan diawali oleh Pancasila yang diimplementasikan dan ditanamkan melalui P4 serta kurikulum pendidikan ala orde baru. Berbicara Pancasila menjadi semakin tabu di era pasca reformasi.
Karena itu, bangsa Indonesia harus berani melakukan reideologisasi terhadap Pancasila. Artinya, kalau rezim Orde Baru telah mendegradasi nilai-nilai fundamental Pancasila melalui “idealisasi” sekaligus memperlakukannya sebagai “agama politik”, kiranya saat ini Pancasila harus diposisikan kembali pada fungsinya sebagai ideologi perekat bangsa. Menjadi sebuah ideologi modus vivendi bagi keberagaman “primordialisme” masyarakat dan kemajemukan sistem pemikiran anak bangsa.
Kedua, jika era ini diabstraksikan sebagai era ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti secara substantif dan ekspansif iptek mampu mengubah gaya hidup manusia, maka sejalan dengan perkembangan masyarakat ia akan mengalami proses transformasi budaya dari tradisional ke modern. Dari mitos ke logos, dari nasional ke trannasional, lalu ke global mondial. Pada titik tertentu, manusia Indonesia dapat terombang-ambing, bahkan kehilangan jati diri, jika tidak memiliki pedoman hidup bernegara.
Sehubungan dengan itu, dibutuhkan Pancasila sebagai ideologi yang telah mengaktualisasikan diri dengan cara mengintegrasikan norma-norma dasar, teori ilmiah, dan fakta objektif (Kuntowibisono, 1993), sehingga memungkinkan berlangsung proses interpretasi dan reintepretasi secara kritis dan jujur. Tingkat akhir akan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang dinamis, akomodatif, dan antisipatif terhadap kecenderungan zaman.
Ketiga, gelombang keoptimisan proses transformasi masyaraka tradisional ke masyarakat modern, ternyata masih menyisakan “bom-bom” keresahan yang sewaktu-waktu meledak dan mematikan. Memang, fenomena modernitas menjanjikan kemudahan-kemudahan hidup, rasio terninabobokkan, lalu perburuan atas materi dan hedonisme diperbolehkan.
Pertahanan dan Keamanan Negara
Tidaklah mudah membangun wawasan berbasis Pancasila tentang sistem pertahanan keamanan negara di Indonesia saat ini, karena berbagai faktor baik internal maupun eksternal yang berlaku dan mempengaruhi bangun pertahanan keamanan negara. Hal itu bisa dicermati pertama, dari sisi konseptual, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, di mana faktor-faktor itupun tidak dapat dipastikan secara tepat. Kedua, dari sisi legal konstitusional, apakah segenap payung peraturan perundang-undangan kita telah lengkap atau cukup untuk memberi payung kewenangan hukum, dimengerti dan memberi keterkaitan yang jelas antar pelaksana fungsi untuk memberikan akuntabilitas bagi implementasinya ? Sisi yang ketiga adalah kondisi faktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di tengah krisis nasional dan era reformasi, yang membuat kita perlu mengadakan evaluasi terhadap konsep pertahanan keamanan negara.
Namun dari mana pun wawasan itu kita bangun dan kita formulasikan, tidak bisa tidak, titik tolak pandangan tetaplah harus bertumpu bahwa fungsi pertahanan keamanan negara adalah salah satu fungsi pemerintahan. Segenap upaya pertahanan keamanan negara beserta segenap upaya fungsi pemerintahan lainnya pada akhirnya diselenggarakan untuk mengabdi kepada kepentingan nasional.
Dari sini dapat kita lihat bahwa Pancasila perlu diperkuat dengan instrumen-instrumen aturan perundangan yang memperjelas fungsi dan tugas aparat serta memuat kaidah-kaidah hukum. Agar pola dan strategi pertahanan dan keamanan tetap berada pada koridor kesatuan Republik Indonesia. Selain itu penting pula untuk mengadakan instrumen aparat berupa kepolisian dan ABRI sebegai penggerak pertahanan dan keamanan.
Instrumen perundangan dan instrumen aparat harus mengacu pada landasan ideologi Pancasila. Bagaimana instrumen perundangan dan instrumen aparat mengamalkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab; dalam menjalankan tugas. Tidak melakukan tindakan-tindakan serta menjaga dari tindakan-tindakan bodoh yang dapat mengancam stabilitas sosial-hankam masyarakat.Serta bagaimana Pancasila mampu menjamin Hak Asasi Kemanusiaan berkaitan meskipun seseorang telah melakukan kesalahan. Menjadikannya sebuah landasan yang mampu menyentuh seluruh lini kehidupan dan sumber acuan terhadap seluruh kebijakan Negera Kesatuan Republik Indonesia.