Senin, 28 Februari 2011

Implementasi Pancasila dan Kesadaran Bangsa

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa dalam membuktikan jati dirinya sebagai bangsa merdeka. Berbagai bentuk perlawanan telah digulirkan, baik secara fisik, gerakan organisasi hingga membentuk sebuah landasan idiologi negara, Pancasila. Di tengah kontroversi apakah Pancasila merupakan sebuah idiologi atau sebagai bagian dari ilmu (falsafah ilmu); Pancasila menjadi acuan yang mendasar bagi keberadaan bangsa Indonesia.Bahkan sebagian umat Islam mempercayai bahwa Pancasila merupakan objektivikasi nilai-nilai Islam.
Namun, apakah Pancasila dapat dijadikan pedoman untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di mata dunia atau malah membawa rakyat makin menjauhi cita-cita luhur bangsa ketika masih bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan dan seterusnya.Bagi Bung Karno, Pancasila tak sekadar rumusan filsafat hasil kecerdasan si pencetus, tapi lebih dari itu merupakan weltschuung bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil penggalian yang mendasar dari tradisi dan karakteristik sebuah bangsa.
Karena itu, Bung Karno yakin, Pancasila merupakan philosofische groundslag yang tepat bagi negara RI dan mampu menjadi guiding principles bagi rakyat Indonesia dalam meraih cita-citanya. Namun dalam perjalanan waktu, terutama pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila dilipat-lipat sedemikian rupa demi kepentingan diri dan kelangsungan kekuasaannya. Kontradiksi antara ideologisasi Pancasila oleh Bung Karno dan implementasi Pancasila oleh rezim Soeharto sebagaimana tergambar dari gugatan mazhab Frankfurt yang didalangi Adorno dan Habermas, yang mengungkapkan suatu bangsa pasti melalui tahap rasional kritis ketika membangun ideologinya.
Kondisi Bangsa Indonesia saat ini ialah lemahnya nasionalisme; lemahnya SDM (sumber daya manusia); lunturnya disiplin; Pancasila teralineasi atau terasingkan; demokrasi cenderung menjadi tujuan; ambiguitas atau kedwiartian dalam pengaturan ekonomi yang menyimpang dari kepentingan nasional, moral dan budaya bangsa yang sedang sakit; postur kekuatan hankam yang memprihatinkan; hujatan terhadap TNI sebagai bagian dari Orde Baru, dll.
Sebuah kenyataan yang memilukan ketika terdapat pemboman dan gerakan separatis di negeri ini. Pancasila sebagai falsafah negara ternyata tidak mampu menjadi sebuah jawaban dari penyelesaian permasalahan yang dibutuhkan. Pancasila tidak lagi berada di dada burung garuda yang gagah, melainkan burung merpati yang lemah.
Pancasila Teralienasi dalam Tubuh Negara dan Bangsa
Pancasila saat ini berada dalam posisi pembahasan yang cukup tidak diminati, baik oleh media maupun siswa SD hingga perguruan tinggi. Berbeda halnya ketika zaman orde baru masih berkuasa. Bagaimana masyarakat betul-betul merasakan apa arti Pancasila –tidak lagi falsafah- melainkan sebagai idiologi negera. Bahkan organisasi hingga partai politik diharuskan mendasarkan Pancasila sebagai dasar institusinya.
Pancasila kini menjadi bagian “sejarah pelengkap” hadirnya bangsa Indonesia, tidak lebih. Masyarakat dan negara tidak leagi mencoba untuk mengangkat Pancasila sebagai sebuah landasan negara dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Mereka disibukkan pada permasalahan kontemporer dan mencoba mencari jawaban atas permasalahan namun tidak mencari dasar permasalahan.
Sangat disayangkan bila Pancasila yang menjadi akar berdirinya bangsa Indonesia hanya menjadi penghias dalam buku dan legal formal dalam kurikulum pendidikan. Benar kiranya bahwa sejarah selalu diukir dan ditafsirkan oleh pemenang. Sejarah bukan milik mereka yang kalah. Dan sejak era reformasi, Pancasila menjadi bagian dari sejarah mereka yang kalah. Berbicara Pancasila seakan berbicara tirani orde baru yang menghantarkan bangsa ini pada keterpurukan yang berkepanjangan. Seluruh persoalan bangsa ini sekan diawali oleh Pancasila yang diimplementasikan dan ditanamkan melalui P4 serta kurikulum pendidikan ala orde baru. Berbicara Pancasila menjadi semakin tabu di era pasca reformasi.
Karena itu, bangsa Indonesia harus berani melakukan reideologisasi terhadap Pancasila. Artinya, kalau rezim Orde Baru telah mendegradasi nilai-nilai fundamental Pancasila melalui “idealisasi” sekaligus memperlakukannya sebagai “agama politik”, kiranya saat ini Pancasila harus diposisikan kembali pada fungsinya sebagai ideologi perekat bangsa. Menjadi sebuah ideologi modus vivendi bagi keberagaman “primordialisme” masyarakat dan kemajemukan sistem pemikiran anak bangsa.
Kedua, jika era ini diabstraksikan sebagai era ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti secara substantif dan ekspansif iptek mampu mengubah gaya hidup manusia, maka sejalan dengan perkembangan masyarakat ia akan mengalami proses transformasi budaya dari tradisional ke modern. Dari mitos ke logos, dari nasional ke trannasional, lalu ke global mondial. Pada titik tertentu, manusia Indonesia dapat terombang-ambing, bahkan kehilangan jati diri, jika tidak memiliki pedoman hidup bernegara.
Sehubungan dengan itu, dibutuhkan Pancasila sebagai ideologi yang telah mengaktualisasikan diri dengan cara mengintegrasikan norma-norma dasar, teori ilmiah, dan fakta objektif (Kuntowibisono, 1993), sehingga memungkinkan berlangsung proses interpretasi dan reintepretasi secara kritis dan jujur. Tingkat akhir akan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang dinamis, akomodatif, dan antisipatif terhadap kecenderungan zaman.
Ketiga, gelombang keoptimisan proses transformasi masyaraka tradisional ke masyarakat modern, ternyata masih menyisakan “bom-bom” keresahan yang sewaktu-waktu meledak dan mematikan. Memang, fenomena modernitas menjanjikan kemudahan-kemudahan hidup, rasio terninabobokkan, lalu perburuan atas materi dan hedonisme diperbolehkan.
Pertahanan dan Keamanan Negara
Tidaklah mudah membangun wawasan berbasis Pancasila tentang sistem pertahanan keamanan negara di Indonesia saat ini, karena berbagai faktor baik internal maupun eksternal yang berlaku dan mempengaruhi bangun pertahanan keamanan negara. Hal itu bisa dicermati pertama, dari sisi konseptual, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, di mana faktor-faktor itupun tidak dapat dipastikan secara tepat. Kedua, dari sisi legal konstitusional, apakah segenap payung peraturan perundang-undangan kita telah lengkap atau cukup untuk memberi payung kewenangan hukum, dimengerti dan memberi keterkaitan yang jelas antar pelaksana fungsi untuk memberikan akuntabilitas bagi implementasinya ? Sisi yang ketiga adalah kondisi faktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di tengah krisis nasional dan era reformasi, yang membuat kita perlu mengadakan evaluasi terhadap konsep pertahanan keamanan negara.
Namun dari mana pun wawasan itu kita bangun dan kita formulasikan, tidak bisa tidak, titik tolak pandangan tetaplah harus bertumpu bahwa fungsi pertahanan keamanan negara adalah salah satu fungsi pemerintahan. Segenap upaya pertahanan keamanan negara beserta segenap upaya fungsi pemerintahan lainnya pada akhirnya diselenggarakan untuk mengabdi kepada kepentingan nasional.
Dari sini dapat kita lihat bahwa Pancasila perlu diperkuat dengan instrumen-instrumen aturan perundangan yang memperjelas fungsi dan tugas aparat serta memuat kaidah-kaidah hukum. Agar pola dan strategi pertahanan dan keamanan tetap berada pada koridor kesatuan Republik Indonesia. Selain itu penting pula untuk mengadakan instrumen aparat berupa kepolisian dan ABRI sebegai penggerak pertahanan dan keamanan.
Instrumen perundangan dan instrumen aparat harus mengacu pada landasan ideologi Pancasila. Bagaimana instrumen perundangan dan instrumen aparat mengamalkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab; dalam menjalankan tugas. Tidak melakukan tindakan-tindakan serta menjaga dari tindakan-tindakan bodoh yang dapat mengancam stabilitas sosial-hankam masyarakat.Serta bagaimana Pancasila mampu menjamin Hak Asasi Kemanusiaan berkaitan meskipun seseorang telah melakukan kesalahan. Menjadikannya sebuah landasan yang mampu menyentuh seluruh lini kehidupan dan sumber acuan terhadap seluruh kebijakan Negera Kesatuan Republik Indonesia.