Rabu, 02 Maret 2011

globalisasi budaya

Argumentasi yang dipakai adalah bahwa derap langkah perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan internasional kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang tidak mengenal batas-batas teritorial kedaulatan negara bangsa.Dengan demikian, akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi yang begitu canggih sehingga mendorong dinamika sosial lainnya. Hal ini menurut saya penting untuk diekplorasi lebih lanjut. Sebab kecenderungan latah berbicara globalisasi selama ini, baik itu sebagai realita atau sekadar “pembayangan” — baik itu yang menolak ataupun yang setuju — lebih cenderung menempatkan globaliasai sebagai persoalan budaya semata.Sebab kecenderungan latah berbicara globalisasi selama ini, baik itu sebagai realita atau sekadar “pembayangan” — baik itu yang menolak ataupun yang setuju — lebih cenderung menempatkan globaliasai sebagai persoalan budaya semata. Oleh karena itu, ada baiknya jika sejenak kita melihat fenomena itu dalam bingkai yang mungkin kurang disukai, yakni dari sudut ekonomi-politik. Dengan demikian, menjadi tepat kiranya jika kemudian kita membicarakan kapitalisme — yang notabene sebagai cikal-bakal lahirnya globalisasi — sebagai objek yang pokok. Ada dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, kapitalisme itu sendiri berdiri bukan saja sebagai konsepsi idealitas manusia, melainkan sebagai realitas yang konkret yang hadir, dihadapi, dan dialami oleh manusia modern. Di sini kemudian mundur apa yang kita kenal dengan teori trias economica dan konteks ini kita tarik dalam bingkai filosofis, kemudian manusia masuk dalam kategori makhluk homo economicus (manusia ekonomi). Dalam hubungan paling penting ini cara bertransaksi ekonomi (jual beli) bukan salah satu dari berbagai hubungan manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari tindakan dan relasi manusia, baik itu dalam hal hubungan keluarga, tata negara atau bahkan hubungan internasional. Oleh sebab inilah para ekonom dan juga Hery Priyono percaya pada simpulan, “Apakah itu masyarakat sedang mengalami kemacetan atau perkembangan dan sekaligus penentuan strategis bagi perubahan, haruslah diletakkan atas dasar konsep ekonomi dan tak boleh keluar dari solusi sistem pasar bebas itu sendiri.” Dengan kekuatan asumsi ini tidak heran jika kemudian muncul etika ekonomi yang berdiri di luar hukum etika lain. Artinya memercayai bahwa individu yang bertindak bebas dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi akan berefek baik bagi peningkatan kesejahteraan publik dibanding dengan pasar yang dikendalikan/dimonopoli oleh negara. Saking kuatnya pengaruh teori ini, kemudian yang terjadi adalah penyingkiran penilaian etika lain semisal agama, sosial, negara, dengan etika economicus neo-liberal. Etika seperti ini, memanifestasikan diri sebagai satu-satunya hakim dalam menilai setiap kebijakan. Sedikit saya tambahkan, bahwa dasar filosofis liberalisme ini sebagai jalan pasar kapitalisme. Hal ini bisa kita lihat dari pengandaian Smith yang menekankan kebebasan aktivitas manusia dalam perekonomian dengan motif dasar yang sama. Apa yang dimaksud Budiman ini bisa kita buktikan dalam berbagai kasus pemotongan subsidi, bahan bakar minyak, kesehatan, pendidikan, dsb., serta terbengkalainya agenda-agenda yang menyentuh hajat orang banyak, semakin menunjukkan bahwa perubahan yang diarahkan oleh kapitalisme global berakibat pada munculnya watak asosiasi negara di satu pihak dan watak komersial di pihak lain. Budaya pasar Melihat fenomena determinasi ekonomi-liberal di atas, satu yang teramat penting diperhatikan adalah bahwa hampir tak ada benteng pertahanan lagi bagi keaslian tata-budaya lama. Transformasi teknologi informasi yang didukung oleh geliat komodifikasi dalam setiap bidang telah mengantarkan pasar menjadi dunia baru yang menegaskan dunia “tradisional” yang selama ini kita diami. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh semisal model restoran siap saji Amerika masuk dalam golongan junk-food yang dikonsumsi oleh kelas pekerja atau pelajar, di Indonesia hadir sebagai tempat yang elit dan eksklusif. Dengan pengikisan budaya lokal oleh desakan global ini kemudian nilai kebudayaan yang sering diasumsi sebagai tatanilai sosial asli (tradisional) sering dianggap ancaman serius. Mungkin dengan perspektif lain, persoalan “pergantian” sebuah kebudayaan bukanlah hal yang serius kita perhatikan, sebab bagi sebuah kebudyaan asli Indonesia misalnya, bukanlah hal yang final dan kita sakralkan. Tapi jika kita kembali dalam pengertian globalisasi sebagai bagian integral arus (kepentingan) ekonomi-politik pemodal, maka persoalan seperti ini akan menjadi suatu hal yang serius, sebab sebuah kebudayaan tidak lagi dibangun melalui tata nilai sosial-kemanusiaan, melainkan justru dibangun dari proses komersialisasi dengan cara-cara meng-komodifikasikan segala hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar